Tuesday, July 18, 2017

√ Pemfokusan Kecakapan Hidup Dalam Pembelajaran Matematika

Penekanan Kecakapan Hidup dalam Pembelajaran Matematika - Pembelajaran berorientasi kecakapan hidup, merupakan aksara pembelajaran Abad 21, yang menekankan pada aspek komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, problem solving, kreativitas dan inovasi. Kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berkolaborasi menjadi kompetensi penting dalam mengarungi kehidupan Abad 21. Sekolah dituntut untuk bisa menyiapkan siswa mempunyai kompetensi-kompetensi tersebut. Rotherdam & Willingham (2009) mencatat bahwa, kesuksesan seorang siswa tergantung pada kepemilikan Kecakapan masa 21, sehingga siswa harus mencar ilmu untuk mempunyai kecakapan kecakapan tersebut.

Mengingat pentingnya kecakapan kecakapan ini, aspek komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, problem solving, kreativitas dan inovasi, telah menjadi fokus dalam pembelajaran matematika di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar ibarat tertera dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2006 wacana Standar Isi (Depdiknas, 2006) adalah:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan problem

2. Menggunakan kebijaksanaan sehat pada teladan dan sifat, melaksanakan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika

3. Memecahkan problem yang mencakup kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menuntaskan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau problem

5. Memiliki perilaku menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu mempunyai rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta perilaku giat dan percaya diri dalam pemecahan masalah.



Kemampuan menuntaskan problem telah ditekankan semenjak lama. Bell (1978) dalam Sugiman & Yahya S. Kusumah (2010) mengemukakan kemampuan pemecahan problem matematik sangat diperlukan oleh masyarakat. Sedangkan Lester (Branca, 1980) ibarat yang dikutip Sugiman & Yahya S. Kusumah (2010) menegaskan bahwa “Problem solving is the heart of mathematics”. Kemampuan memecahkan problem (problem solving) juga menjadi perhatian National Council Teacher of Mathematics (NCTM) ibarat yang tertera pada Principles and Standard for School Mathematics. Dalam NCTM (2000) dinyatakan bahwa :” problem solving is an integral part of all mathematics learning and so it should not be an isolated part of the mathematics program”. Penyelesaian problem merupakan bab integral dan tidak sanggup dipisahkan dari pembelajaran matematika. Kemampuan penyelesaian problem yaitu kemampuan atau kompetensi esensial dalam mempelajari matematika, yang direkomendasikan untuk dilatihkan serta dimunculkan semenjak anak mencar ilmu pada jenjang pendidikan paling dasar”.

Selain kemampuan penyelesaian masalah, pembelajaran matematika perlu menekankan pada kemampuan komunikasi dan kemampuan berpikir. NCTM juga menekankan pentingnya kemampuan komunikasi dalam matematika dan pendidikan matematika. Dalam NCTM (2000) dinyatakan bahwa:” communication is an essential part of mathematics and mathematics education”. Siswa dituntut untuk memahami, mengelola dan membuat komunikasi yang efektif dalam banyak sekali bentuk dan isi secara verbal maupun secara tertulis.

Untuk kepentingan ini, NCTM (2000) merumuskan standar-standar komunikasi dalam pembelajaran matematika. Standar-standar tersebut bertujuan untuk menjamin aktivitas pembelajaran matematika yang membuatkan kemampuan siswa dalam: “(1) menyusun dan memadukan pemikiran matematika melalui komunikasi; (2) mengkomunikasikan pemikiran matematika secara logis dan sistematis kepada siswa, guru maupun orang lain; (3) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran dan taktik matematis orang lain; (4) memakai bahasa matematika untuk mengekspresikan gagasan matematika secara tepat”(NTCM,2000).

Untuk membuatkan kemampuan komunikasi siswa, NCTM (2000) menekankan pentingnya penggunaan problem matematika yang bersifat terbuka dan menantang. Menurut Swada (Ariyadi Wijaya, 2012), problem terbuka (open ended problem) yang berbasis dunia kasatmata akan membuat siswa lebih aktif berpartisipasi dalam pembelajaran serta menjadi lebih sering mengekspresikan gagasan-gagasan mereka. Masalah yang bersifat terbuka akan menstimulasi siswa untuk berdiskusi sehingga siswa sanggup merumuskan suatu akad dan pemahaman bersama terkait dengan penyelesaian masalah.

Berkaitan dengan prinsip komunikasi, Tatsis (2007) memperkenalkan istilah “norma sosial” dan “norma sosiomatematik”. Norma ini melandasi interaksi sosial yang terjadi saat siswa bekerja sama menuntaskan problem matematika maupun dalam mempresentasikan suatu hasil penyelesaian matematika. Cobb, Wood dan Yackel (1992) membedakan kedua norma ini, untuk menggambarkan teladan komunikasi antara guru dan siswa maupun antarsiswa. Norma sosial yaitu teladan umum interaksi sosial yang tidak terikat pada bahan pelajaran, contohnya bagaimana cara yang baik untuk mengajukan pertanyaan serta menghargai pendapat orang lain. Norma sosiomatematik terkait akrab dengan bahan pelajaran, contohnya bagaimana siswa melaksanakan proses interaksi dan perundingan untuk memahami konsep-konsep matematika.

Selain membuat siswa lebih aktif, keberadaan problem kontekstual yang bersifat terbuka juga berpotensi membiasakan siswa memakai seluruh kecakapan matematisnya, sehingga pembelajaran matematika memfasilitasi siswa untuk berpikir matematis. Andrew Noyes (2007) menyatakan bahwa “many children are trained to do mathematical calculations rather than being educated to think mathematically”. Selama ini para guru hanya berkonsentrasi untuk melatih siswa melaksanakan perhitungan-perhitungan matematika daripada dididik untuk berpikir secara matematik padahal, kemampuan berpikir matematis sangat penting alasannya yaitu berkontribusi dalam pengembangan kemampuan pemecahan problem (Stacey, dalam Ariyadi Wijaya, 2012).

Berbagai kecakapan Abad 21 ibarat berpikir matematik, pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi, gotong royong telah menjadi pengutamaan dalam kurikulum Indonesia, yang tertera dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2006 wacana Standar Isi (Depdiknas, 2006). Ibarat ular berkepala dua, cara berjalannya tidak searah dengan tujuannya. Guru hanya menekankan banyaknya bahan matematika yang dipelajari menurut sasaran kurikulum dan mengabaikan tujuan pembelajaran matematika yang ditetapkan. Kebiasaan guru ibarat ini tidak salah, alasannya yaitu sistem penilaian pendidikan kita yang mendewakan hasil Ujian Nasional (UN) sebagai sasaran semu (Wibowo, 2008). Guru melatih siswa untuk menjawab soal UN secara cepat dan benar (smart solution) ibarat yang sering dilatihkan di Lembaga Bimbingan Belajar. Sekolah telah beralih fungsi dari forum pendidikan menjadi forum pelatihan.

Sumber http://www.tipsbelajarmatematika.com

No comments:

Post a Comment

Laptop Graphic Terbaik Untuk Desain Grafis 2014

Mereview Laptop Desain Grafis tahun 2014 OPOSIP - Ketika saya bekerja dari rumah saya mempunyai sebuah PC yang didedikasikan yang sang...