Tuesday, April 3, 2018

Menengok Data Perkembangan Desa

Data perkembangan desa menjadi kebutuhan pokok untuk mengukur bagaimana arah perubahan desa terjadi. Selama ini pemerintah telah menimbulkan desa sebagai salah satu poros utama pembangunan. Puluhan triliun dana telah digelontorkan oleh pemerintah demi menjalankan misi pembangunan tersebut. Target pemerintah setidaknya mencapai 2.000 desa berdikari serta mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang.

Data perkembangan desa menjadi kebutuhan pokok untuk mengukur bagaimana arah perubahan des Menengok Data Perkembangan Desa
Semenjak UU Desa digulirkan empat tahun lalu, pemerintah mendukung gerakan pembangunan desa semoga masyarakat desa dapat menjadi subjek pembangunan. Bukti ini tercetak terang dalam Nawacita ketiga, yaitu "Membangun dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa Dalam Kerangka Negara Kesatuan." Upaya ini kemudian diperkuat dengan santunan materiil berupa aktivitas dana desa.

Dana desa yang disalurkan tak tanggung-tanggung, mengalami kenaikan tiap tahunnya yaitu pada 2015 sebesar Rp 20,67 triliun, 2016 sebesar Rp 46,98 triliun, 2017 sebesar Rp 60 triliun, 2018 masih sebesar Rp 60 triliun, dan untuk 2019 pemerintah mengalokasikan hingga Rp 73 triliun. Dana ini banyak dipakai untuk perbaikan infrastruktur menyerupai jalan desa, air bersih, MCK, irigasi, PAUD, dan sebagainya. Pemerintah tentu mengharapkan hasil bagunan fisik ini berdampak besar pada akselerasi kemajuan desa.

Data yang Tersedia

Perkembangan desa dapat dilihat dari banyak sekali data yang tersedia. Salah satunya ialah Indeks Desa Membangun (IDM) yang diluncurkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Indeks ini mengelompokkan desa menjadi lima kategori yaitu desa mandiri, desa maju, desa berkembang, desa tertinggal, dan desa sangat tertinggal. IDM mulai diluncurkan pada 2015 dengan bersumber pada data Potensi Desa yang telah dipublikasikan oleh BPS.

Ada 54 variabel yang kemudian dikelompokkan menjadi 3 dimensi yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Indikator sosial dipakai untuk melihat bagaimana kondisi sosial masyarakat desa yang terdiri dari modal sosial, kesehatan, pendidikan, dan permukiman. Dimensi ekonomi dipakai untuk menggambarkan bagaimana ketahanan ekonomi desa yang dilihat dari keragaman produksi desa, tersedianya sentra pelayanan perdagangan, saluran distribusi/logistik, saluran ke forum keuangan, forum ekonomi, dan keterbukaan wilayah. Sedangkan, dimensi terakhir yaitu dimensi ekologi melihat kondisi lingkungan desa dari variabel kualitas lingkungan, potensi rawan bencana, dan tanggap bencana.

Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yakni 2015, hanya 173 (0,23%) dari 74.093 desa yang menduduki kategori desa mandiri, disusul 3.610 desa maju (4,83%), 22.916 desa berkembang (30,66%), 33.948 desa tertinggal (45,41%), dan 14.107 desa sangat tertinggal (18,87%). Data ini menawarkan bahwa kondisi desa pada waktu itu masih didominasi oleh kategori desa tertinggal dan sangat tertinggal, sementara desa berdikari dan desa maju hanya mengambil porsi kurang dari 5% saja.

Perlu diingat kembali bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah menargetkan terjadi peningkatan desa paling sedikit 2.000 desa berdikari dan penurunan desa tertinggal hingga dengan 5.000 desa tertinggal. Artinya, pemerintah harus dapat menciptakan komposisi perkembangan status desa yang terdiri dari setidaknya 2,93% desa mandiri, dan menekan jumlah desa tertinggal hingga tersisa 39,07% pada 2019. Bukan pekerjaan gampang tentunya. Pemerintah perlu terus memantau bagaimana perkembangan desa setiap tahunnya semoga penanganan melalui kebijakan dapat sigap dilakukan.

Pada tahun berikutnya 2016, Kemendesa PDTT melaksanakan survei untuk mengisi kekosongan input data IDM, alasannya ialah publikasi data Potensi Desa yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak dilakukan setiap tahun. Ada 1.429 desa yang dijadikan sebagai sampel yang balasannya menawarkan bahwa komposisi status perkembangan desa mengalami perbaikan. Meski tidak dapat dijadikan patokan sepenuhnya bahwa realitas seluruh desa lainnya mengalami perubahan dengan komposisi demikian, namun setidaknya dengan hasil survei ini, pemerintah dapat melihat citra garang bagaimana arah pembangunan desa.

Dalam rentang waktu satu tahun, komposisi desa tertinggal mengalami penurunan dari 45,41% pada 2015 menjadi 31,36% pada 2016, jauh melebihi sasaran yang diharapkan. Sementara, untuk desa berdikari juga mengalami perbaikan dari semula 0,23% menjadi 1,19% pada 2016. Komposisi status lainnya yaitu 15,32% desa maju, 46,95% desa berkembang, dan 5,17% desa sangat tertinggal. Sekali lagi, capaian ini diperoleh melalui hasil survei dengan sampel yang sedikit, sehingga pemerintah belum dapat melaksanakan klaim sepenuhnya.

Pada 2017, pemerintah bolos dalam publikasi data perkembangan desa. Hal ini bekerjsama bukan tanpa alasan. Kali ini pemerintah melaksanakan survei kembali untuk melihat perkembangan desa secara lebih positif dengan jangkauan sampel yang lebih besar yaitu 69.115 desa, hampir mendekati total keseluruhan desa yang berjumlah 74.794 desa. Konsekuensinya waktu yang dibutuhkan juga panjang, sehingga hasil survei yang telah dimulai pada 2017 ini gres dapat disampaikan ke publik satu tahun berikutnya yaitu tahun kini 2018.

Melihat dari segi jumlah sampelnya, survei kali ini dirasa lebih sempurna dibandingkan dengan tahun dasar yakni 2015. Selama 3 tahun berjalan, status beberapa desa telah mengalami perbaikan. Jumlah desa maju bertambah menjadi 4.784 desa (6,92%), desa berkembang sebanyak 30.293 desa (43,83%), dan desa sangat tertinggal jauh berkurang menjadi 6.633 desa (9,6%). Bahkan untuk sasaran pemerintah dalam mengentaskan setidaknya 5.000 desa tertinggal hampir tercapai, alasannya ialah jumlah desa tertinggal terbaru sebanyak 27.092 desa (39,20%). Angka ini jauh berkurang dibandingkan 2015.

Jerih payah pemerintah dan banyak sekali pihak untuk mengangkat desa dari ketertinggalan tercermin dari hasil tersebut. Namun demikian, pekerjaan rumah tetap belum usai alasannya ialah kondisi berbeda untuk sasaran peningkatan desa mandiri. Datanya memang mengalami peningkatan namun tidak signifikan, yakni dari 173 desa pada 2015 menjadi 313 desa berdikari pada 2018, masih jauh dari sasaran yang diinginkan. Akselerasi perbaikan status desa tertinggal tampaknya lebih kencang daripada desa mandiri.

Pemerintah harus bergegas diri untuk menelisik lebih dalam dan mencari solusi guna mewujudkan sasaran yang telah direncanakan. Waktu yang tersisa kini hanya 1 tahun, butuh kerja keras dan dorongan bersama-sama dari semua pihak. Mengungkit status desa demi kesejahteraan masyarakat desa merupakan kiprah semua pihak yakni pemerintah, masyarakat desa, dan juga kita.

Oleh: Ana Fitrotul Mu'arofah, S.E, M.E 
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia

Sumber: Detik.com

Sumber http://risehtunong.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Laptop Graphic Terbaik Untuk Desain Grafis 2014

Mereview Laptop Desain Grafis tahun 2014 OPOSIP - Ketika saya bekerja dari rumah saya mempunyai sebuah PC yang didedikasikan yang sang...