Tuesday, April 17, 2018

Cerpen Ayah : Untuk Ayah, Alasannya Ialah Allah





Sosok dalam bingkai foto itu tersenyum kepadaku. Alhasil, cermin menangkap berair raut rindu yang tak bisa kusembunyikan. “Kullu nafsin dzaiqotul maut”, Ayah membuatku percaya akan hal itu. Kesendrian dengan balutan kain kafan dan posisi menghadap ke qiblat, sooner or later semuanya akan mengalami hal itu.

“Meskipun Ayah bukan orang baik, tapi kau harus jadi orang yang baik”. Mengingat kalimat itu, air mataku dengan sigap keluar dari kawasan persembunyiannya. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Ayah sesudah kami meninggalkan rumah terakhirnya. “Ya Allah… apa disana Ayah disiksa lantaran Nara?”, tanyaku pada-Nya. Aku merasa sudah menutup aurat setiap keluar rumah. Namun, ternyata yang kulakukan hanya membungkus.

”Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahullah mengatakan, makna Kasiyatun ‘Ariyatun ialah para perempuan yang menggunakan pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota badan yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126).

Aku seorang gadis 17 tahun yang zona nyaman pakaiannya ada pada ripped jeans, kemeja crop, dan jilbab disimpul kebelakang leher. Yah, akulah gadis yang termasuk golongan perempuan yang tidak akan sanggup masuk nirwana dan bahkan tidak akan sanggup mencium wangi surga, padahal, wangi nirwana itu sanggup tercium dari jarak yang ditempuh sekian dan sekian lamanya.Selama ini saya tidak tahu dan tidak mencari tahu wacana hal itu. Hingga pada balasannya saya diberi tahu dan saya memutuskan memecahkan celengan untuk mengawali perubahan cara menutup auratku, dari zona nyaman menuju zona aman. Parubahan itulah yang mengawali pergantian suhu hubunganku dengan Bunda, yang tadinya hangat berkembang menjadi dingin.

Berbicara wacana Bunda, saya pun tersadar bahwa waktu sholat subuh sudah berganti menjadi waktu sholat dhuha. Namun, tak ada gejala Bunda pulang kerumah. Aku beranjanak dari kasur menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Kurasa pagi ini untuk pertama kalinya sesudah ayah tiada, saya sarapan tanpa Bunda. Aku mulai menyentuh peralatan dapur dan menciptakan hidangan sarapan andalan keluarga, telur mata sapi. Sejak dulu Bunda sangat menyukai makanan ini, selain biayanya sesuai dengan kondisi perekonomian keluargaku yang menengah kebawah, telur mata sapi juga memiliki filosofi yang memotivasi bagi Bunda. “Belajarlah untuk nrimo menyerupai seekor ayam. Ayamlah yang mengandung dan menetaskan telur. Namun, sesudah telur itu digoreng mata sapi, yang harum namanya ialah sapi bukan ayam”, begitulah yang sering dijelaskan Bunda padaku dan Ayah. Lagi-lagi saya terjebak nostalgia.

Hari ini ialah subuh terbaik dan terburuk dalam hidupku. Terbaik lantaran untuk pertama kalinya, bunyi adzan subuh dirumahku terdengar jernih tanpa beradu dengan tuts piano yang mengalunkan lagu lawas. Terburuk lantaran tanpa kehadiran sosok Bunda yang selalu memanfaatkan waktu subuh untuk melatih hobi sekaligus profesinya sebagai penyanyi. Sepertiga malam yang kulalui pun berbeda sesudah berpulangnya Ayah pada Allah. Tak ada lagi bunyi cambukan ikat pinggang untuk perempuan yang membeci semerbak aroma alkohol yang keluar dari badan Ayah. Lenyap sudah bunyi berkelahi amarah dari Ayah dan Bunda.  Namun, dibalik kenyataan ini saya selalu meyakini bahwa Yang Mahakuasa maha mengetahui apa yang tidak saya ketahui.

Susu putih dan telur mata sapi sudah tersaji rapi di meja makan. Jam sudah memperlihatkan pukul setengah delapan, tapi saya belum berniat memulai sarapan sampai saya benar-benar kelaparan. Aku akan terus menunggu Bunda. Menit pertama menunggu saya manfaatkan untuk mengingat tragedi beberapa hari lalu. Waktu itu saya mencoba berdialog dengan Bunda wacana niatku untuk berhijab syar’i. “Ini Jakarta, Kinara. Bukan Mekah! Ayahmu pendosa! Meskipun kau menjadi ustadzah ia tidak akan masuk surga!”. Itulah jawaban Bunda. Aku berusaha menasehati Bunda untuk memaafkan Ayah, lantaran Yang Mahakuasa akan memperlihatkan pahala dan memuliakan orang-orang yang pemaaf. Waktu itu saya juga berkata, “Justru lantaran Ayah seorang pendosa, Nara ingin meringankan beban Ayah diakhirat, Bun…”. Dan yang terjadi ialah Bunda pribadi berangkat kerja dan meninggalkanku begitu saja. Sejak ketika itu, dialogku dan Bunda jadi berbeda lantaran Bunda yang membeku dan saya yang tak bisa mencairkan suasana. Untuk mencapai suatu puncak, tentu harus melewati tanjakan dan rintangan. Meskipun tanpa restu dari Bunda, saya tetap pada hijrahku. Lemariku yang semula hanya didominasi rippedjeans dan kemeja, kini telah ada beberapa gamis dan rok selain rok seragam sekolahku dulu.

Lima menit pertama telah berlalu, dan Bunda masih belum mengisi bangku dihadapanku. Lima menit kedua, saya mencoba mengingat lagi apa kesalahanku sampai Bunda enggan pulang ke rumah. Hari itu, berbekal ijazah Sekolah Menengah kejuruan Tata Busana dan gamis beserta khimar lebar yang kukenakan, saya mencoba melamar pekerjaan dibeberapa kawasan yang mendapatkan lulusan Sekolah Menengan Atas dan sederajatnya. Hasilnya hotel, restoran, bahkan kawasan foto kopian menolakku. Alasannya sama, hijab syar’i-ku, dan jikalau saya ingin diterima maka saya harus menggunakan seragam tanpa mengenakan hijab atau menggantinya dengan pakaian kaum Kasiyatun ‘Ariyatun menyerupai yang dulu saya kenakan.

 Asaku hampir putus jikalau saja saya tidak mengingat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’I bahwa “Allah sangat mencemburui orang yang berharap pada selain-Nya, Yang Mahakuasa menghalangi perkara tersebut biar ia kembali berharap kepada Yang Mahakuasa SWI.” Miracle I Do, Impossible I Try, saya akan lebih kurang arif dari huruf film My Stupid Boss jikalau saja saya mengalah untuk mencari pekerjaan. Swalayan 24 jam ialah kawasan terakhir yang kudatangi. Jika sebelumnya saya ditolak, maka ketika itu saya yang menolak, lantaran saya diterima sebagai kasir dengan sift pukul 21.00-03.00 pagi. Aku tidak ingin mengorbankan waktu tidur dan sholat malamku hanya untuk lembaran rupiah.

Sepuluh menit sudah saya flashback. Sekarang saya tahu, dimana letak kesalahanku. Aku beralih dari meja makan menuju piano yang biasa Bunda mainkan. Kemarin, dihadapan piano inilah saya menciptakan kesalahan pada Bunda. Aku melaksanakan penolakan untuk mengajari Bunda memainkan sederet lagu English top hitz yang diminta bosnya. Fetish, Desspacito, Versace on the flor, Marvin Gaye, Pillowtalk,  judul-judul itu tertera di page turner. Merekalah yang membuatku tak bisa mengajari Bunda. Bagaimana mungkin saya mengajari Bunda menyanyikan dan memainkan lagu yang maknanya tidak baik itu. Hal itu  sama saja dengan menciptakan Bunda dibenci Allah, apalagi Bunda seorang perempuan yang seharusnya menjaga bunyi lantaran termasuk potongan aurat. Alhasil, Bunda kehilangan pekerjaannya sebagai penyanyi cafe lantaran tidak bisa membawakan lagu-lagu yang diminta. Jujur, aku  lebih menyukai Bunda menyanyikan lagu-lagu lawas yang liriknya lebih menenangkan, dibandingkan dengan lagu-lagu tuntutan zaman kini yang liriknya menyesatkan.

 Akibat kehilangan pekerjaannya, Bunda murka besar dan membentakku kala itu.“Kinara! Kamu pikir dengan jadi orang baik hidup ini akan baik-baik saja?!”, Bunda berteriak didepan wajahku. “Sekarang Bunda pengangguran! Dan kamu? Karena pakaian terorismu ini kau bahkan tidak bisa mendapatkan pekerjaan!”, Bunda meremas ujung jilbab lebarku. “Istigfar Bun.. Nara hanya ingin…”. “Hanya apa?! Hanya ingin meringankan beban Ayahmu di darul abadi dengan cara menambah beban Bunda di dunia, iya?!”, bantah Bunda. “Nara hanya ingin menjadi anak sholeha dan berbakti pada orang tua, Bun…”, saya berusaha hening dan tidak terbawa amarah. “Kalau kau ingin jadi anak yang berbakti, turuti kata Bunda! Surga itu ada dibawah telapak kaki Ibu, bukan Ayah!”. Kemudian Bunda memelankan nada bicaranya,”Kembalilan menyerupai Nara yang dulu dan jangan pikirkan Ayahmu sayang…”, pinta Bunda. Kemudian saya berlutut pada Bunda lantaran saya tidak bisa memenuhi permintaannya.

“Mulai nanti malam, Bunda akan bekerja sebagai penyanyi disebuah bar. Bunda tidak akan melarang kau menjadi orang baik, tapi kau juga dihentikan memaksa Bunda menjadi orang baik!”, itulah kalimat terakhir Bunda tadi malam. Saat itu impulsif saya memeluk akrab kaki Bunda biar tidak pergi ke bar. Namun, Bunda menepisnya dan lagi Bunda pergi meninggalkanku. Tangisku pecah seketika. Aku tidak bisa membayangkan Bunda akan menyanyi dibawah gemerlap lampu club malam dan dikelilingi aroma alkohol. Bagaimana bisa Aku meneruskan dakwah kepada umat Islam sementara berdakwah untuk keluargaku sendiri pun saya tak mampu. Kala itu, bunyi adzan Maghrib memecah prasangka burukku sekaligus mengingatkanku bahwa dibalik persoalan besar yang saya hadapi, saya masih punya Yang Mahakuasa yang Maha Besar. Dalam sujudku, kujumpai Yang Mahakuasa untuk menumpahkan segala galau jiwaku. 

“Ya Allah,  Nara sudah mencoba mengajak Bunda kepada hal yang ma’ruf dan melarangnya pada hal yang munkar, sebagaimana yang Engkau firmankan dalam surah Al-Imran (3):104. Nara juga sudah mencoba mengalamalkan tawaran Surah As-Shaf (61):23 untuk memperlihatkan pola dengan memulai dari diri Nara sendiri supaya Yang Mahakuasa tidak murka besar ketika Nara megatakan apa yang tidak Nara kerjakan. Namun, untuk keberkian kalinya Nara gagal. Nara hanya berusaha untuk menjadi anak yang sholeha supaya doa Nara bisa menyelamatkan kedua orang renta Nara. Sekarang, Nara hanya bisa mendoakan Ayah dan Bunda. Allahummagfirlii waliwaalidayya war hamhumma kama rabbayaanii shoghiiraa. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiiroti hasanah waqina ‘adzabannar”, doaku usai sholat Maghrib kala itu.

Yah! Itulah sederet kesalahanku pada Bunda. Aku membuatnya kehilangan pekerjaan, menolak semua permintaannya, dan kini saya menciptakan Bunda pergi. Berdoa, dan lagi hanya itu yang bisa kulakukan. Sudah tiga puluh menit  aku menunggu Bunda, cacing diperutku pun suudah mulai bosan. Akhirnya, saya memutuskan untuk sarapan sendirian. Baru saja saya hendak menyentuh sarapanku, seorang perempuan dengan niqab diwajahnya bangkit diambang pintu. Aku menghampirinya dan menatap lekat iris coklat renta miliknya. Aku menyerupai mengenali mata itu. Hingga balasannya perempuan itu membuka niqabnya dan ternyata…

“Bunda…”, Aku hampir tidak percaya akan apa yang kulihat. Bunda yang biasanya mengenakan rok selutut dan kemeja ketat, kini mengenakan busana yang jauh lebih tepat dari yang saya kenakan. Baru saja saya hendak berlutut dan memohon maaf, Bunda pribadi menahanku dan memelukku. “Maafkan Bunda, Nara. Sekarang, Bunda tidak ingin melepas pakaian ini, Bunda juga tidak mau bekerja di kafe lagi. Bunda takut…”, dengan bibir memucat dan nafas terengah-engah Bunda berkata menyerupai itu. Entah apa yang terjadi pada Bunda tadi malam, yang kutahu kini Bunda terlihat sangat ketakutan. Aku hanya mengangguk dengan rasa tak percaya akan perkataan itu. 

Kemudian saya menuntun Bunda menuju meja makan. Baru saja saya dan Bunda hendak menyantap telur mata sapi, bunyi dering ponselku menghalangi kami. Aku pribadi menjawab panggilan dan mendengarkan bunyi dibalik ponselku. Tak sepatah kata pun bisa kuucap sampai panggilan itu berakhir. “Alhamdulillah, Bun.. Nara mendapatkan pekerjaan sebagai desainer disebuah butik hijab syar’i”. Berkat buku sketsaku yang tertinggal ketika membeli gamis yang kukenakan, kini saya bisa mendapatkan pekerjaan. Aku terharu, begitu juga dengan Bunda yang ikut mengeluarkan air mata harunya. Ku hapus air mata surgaku itu dengan lembut. “Bunda terharu. Setelah semua dosa yang Bunda perbuat, Yang Mahakuasa masih mau mengabulkan doa Bunda. Yang Mahakuasa benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, Bunda berkata disertai isakan. “Nara… Bawa Bunda ke makam Ayah, nak. Bunda rindu…”, pinta Bunda sambil menggenggam tanganku. Dan lagi saya hanya bisa mengangguk. Hadiah yang luar biasa dari Yang Mahakuasa hari ini membuatku membisu seribu bahasa.

Usai melahap sarapan, saya dan Bunda pribadi berziarah ke makam Ayah.Kami membacakan yasin dan berdoa untuk Ayah. “Kun fa yakun”. Hari ini semua hal yang kuanggap khayalan, Yang Mahakuasa sudah membuatnya menjadi kenyataan. Setelah 5 tahun semenjak pemakaman Ayah, balasannya saya bisa membawa Bunda kembali berziarah kesini. Hari ini dihadapan nisan Ayah, saya kembali mencicipi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah yang sesungguhnya. Aku percaya bahwa family is foundation of everthing, if it’s good keep it! If isn’t fix it!. “Ayah, hari ini Nara persembahkan hijrah Bunda dan Nara untuk Ayah, lantaran Allah”, ucapku dalam hati sambil tersenyum pada Bunda yang terlihat menyerupai bidadari nirwana yang sedang berdoa untuk Ayah.


Sumber http://gadgetbatagor.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Laptop Graphic Terbaik Untuk Desain Grafis 2014

Mereview Laptop Desain Grafis tahun 2014 OPOSIP - Ketika saya bekerja dari rumah saya mempunyai sebuah PC yang didedikasikan yang sang...