Monday, January 8, 2018

√ Teori Berguru Respondent Conditioning

Teori mencar ilmu Respondent Conditioning-Teori mencar ilmu Respondent Conditioning (pengkondisian respon) diperkenalkan oleh Pavlov. Teori ini didasarkan pada ajaran bahwa sikap atau tingkah laris merupakan respon yang sanggup diamati dan diramalkan (Guy R. Lefrancois (1985)) sehingga mempengaruhi individu dan membawanya ke arah sikap (respon) yang diharapkan. Teori ini merupakan teori behaviorisme.

Pavlov (1849-1936) mengkaji stimuli (rangsangan tak bersyarat) yang secara impulsif memanggil respon. Stimuli di lingkungan contohnya sorotan lampu memancing respon refleks. Respon, berupa refleks yang terpancing stimuli, disebut responden. Responden (respon tak bersyarat) muncul di luar kendali kemauan bebas seseorang. Hubungan rangsangan bersyarat dengan respon itu spontan, bukan hasil belajar. Namun sikap refleks sanggup muncul sebagai respon atas stimuli yang bahwasanya tidak otomatis memancing respon. Melalui conditioning, stimuli netral (netral spontan) memancing refleks namun sengaja dibentuk biar bisa memancing respon refleks. Bila satu stimuli menghasilkan respon, maka stimuli kedua yang tidak relevan dihadirkan serempak dengan stimuli pertama, dan alhasil respon tadi muncul tanpa perlu menghadirkan stimuli pertama.

Contohnya adalah, apabila lampu disorotkan ke mata, pupil mata menyempit. Jika lonceng dibunyikan tiap kali lampu disorotkan ke mata, suara lonceng saja menciptakan pupil mata menyempit. Pebelajar terkondisi oleh suara lonceng. Pengkondisian melemah kemudian sirna, kalau secara berulang individu mendengar lonceng tanpa sorotan lampu. Setelah stimuli netral (bunyi lonceng berulang-ulang) dipasangkan pada stimuli efektif (sorot lampu), maka stimuli netral akan membuahkan respon yang sama dengan yang dimunculkan oleh stimuli efektif. Implikasi kependidikan dari teori mencar ilmu respondent conditioning ini dibuktikan lewat penelitian C. Joan Early (1968) dimana akseptor didik kelas 4 SD disurvei dengan memakai sosiometri. Survei ini bermaksud mengidentifikasi akseptor didik yang terasing dalam pergaulannya di kelas. Berdasarkan sosiogram, akseptor didik yang terisolir diperlakukan sebagai kelompok eksperimen, sedangkan akseptor didik yang tidak terisolir diperlakukan sebagai kelompok kontrol. Kedua kelompok akseptor didik diberi kiprah mempelajari sejumlah kalimat yang bernada positif dan kalimat yang bernada netral. Selanjutnya masing-masing kelompok diminta bermain secara bebas dengan kiprah memasangkan nama dirinya dengan kalimat tertentu. Kelompok eksperimen (peserta didik yang terisolir) diminta memasangkan nama dirinya dengan kalimat bernada positif menyerupai sobat yang sangat menyenangkan” atau “teman yang periang”. Sedangkan kelompok kontrol (peserta didik yang tidak terisolir) diminta memasangkan nama dirinya dengan kalimat bernada netral menyerupai “teman yang biasa saja” atau “teman yang tidak istimewa”.

Selama permainan guru melaksanakan pengamatan sikap akseptor didik pada situasi bermain bebas tersebut. Hasil analisis data pengamatan menawarkan ada kecenderungan akseptor didik lebih mendekati akseptor didik terisolir di kelompok eksperimental dibandingkan dengan kelompok kontrol. Setelah permainan selesai dilakukan lagi pengukuran sosiometri, dan sosiogramnya menawarkan bahwa akseptor didik kelompok eksperimental (peserta didik yang terisolir) lebih diterima atau disukai oleh temannya daripada akseptor didik kelompok kontrol (peserta didik yang tidak terisolir). Hal ini berarti, akseptor didik di kelompok eksperimen tidak lagi terisolir dari temannya sesudah dikondisikan melalui permainan bebas tersebut. Eksperimen tersebut menawarkan bahwa akseptor didik mencar ilmu ihwal sikap positif dan prasangka buruk. Proses mencar ilmu ihwal prasangka jelek lewat aktivitas mengasosiasikan kualitas langsung negatif pada kelompok sebaya, tetapi mereka juga mencar ilmu membentuk sikap positif dan kooperatif lewat bermain bersama seraya mengasosiasikan kualitas langsung perseorangan dan kelompok. 

Contoh lain penerapan teori mencar ilmu respondent conditioning ialah yang dilakukan pula oleh J. Wolpe (1958) untuk menangani reaksi cemas melalui aktivitas penurunan kepekaan secara sistematis (systematic disensitization). Stimuli di lingkungan yang memicu reaksi cemas, diubah lewat aktivitas mengkondisikan respon pengganti rangsangan yang tidak selaras dengan respon cemas. Prosedur ini memakai respon relaksasi otot. Isyarat pemicu cemas dipasangkan dengan respon relaksasi. Individu diminta bersikap relaks dan membayangkan pemandangan berisyarat pemicu cemas ringan. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa pada waktu bersantai, cemas ringan dihambat oleh sikap santai itu. Secara bertahap, seraya bersantai dipasangkan aba-aba aktivis cemas ringan, aba-aba pemicu cemas makin dinaikkan kadarnya, dibayangkan tanpa ada respon sama sekali atau ada respon tetapi kecil saja. Relaksasi berasosiasi dengan hirarki pemandangan yang dibayangkan. Akhirnya kemampuan stimuli membangkitkan kecemasan menjadi lenyap. Pengubahan sikap respondent conditioning menyerupai dicontohkan di atas, sanggup pula dipakai untuk membantu akseptor didik yang mengalami problem suka makan berlebihan, peminum miras atau penyimpangan sikap sek*ual.

Sumber http://www.tipsbelajarmatematika.com

No comments:

Post a Comment

Laptop Graphic Terbaik Untuk Desain Grafis 2014

Mereview Laptop Desain Grafis tahun 2014 OPOSIP - Ketika saya bekerja dari rumah saya mempunyai sebuah PC yang didedikasikan yang sang...