Tentang Filsafat Pendidikan. Di dalam filsafat terdapat tiga aspek yang sekaligus dijadikan landasan: yakni landasan metafisis/ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Masing-masing landasan sanggup dijelaskan sebagai berikut:
Landasan Metafisis
Landasan metafisis/ontologis membahas dilema realitas. Apakah realitas itu? Apakah realitas itu wujudnya mental spiritual atau berwujud materi. Landasan epistemologis membahas dilema pengetahuan termasuk bagaimana cara menpendapatkan pengetahuan itu? Sedangkan landasan aksiologis membahas ihwal nilai, apakah nilai itu, apakah nilai itu absolute atau relative?
Dalam goresan pena ini hanya menampilkan tiga aliran filsafat yaitu idealisme, realisme dan pragmatisme sebagai sampel untuk memperjelas keterangan mengenai landasan-landasan filosofus tersebut. Meskipun sangat disadari bahwa perkembangan pemikiran sampaumur ini begitu sangat bermacam-macam menyerupai munculnya pandangan atau aliran: poststrukturalist, postmodernist, postpatriarchal dan psot-Marxist (Paulston, 1995: 137)
Menurut pandangan idealisme (Akinpelu, 1988: 132), apa yang dinamakan realitas ialah sesuatu yang bersifat mental-spiritual dan tidak mengalami perubahan. Dalam konteks pendidikan, penerima didik sebagai realitas dipahami sebagai sosok spiritual yang merupakan serpihan dari alam semesta yang spiritual pula.. Juga dikaitkan dengan materi pelajaran atau materi ajar, maka materi pelajaran atau materi latih itu menyangkut hal-hal yang sifatnya mental-spiritual menyerupai yang terdapat pada materi atau materi latih pendidikan kewarganegaraan, pendidikan Pancasila dan pendidikan agama.
Dalam pandangan realisme (Ornstein and Levine, 1985: 191-192), realitas itu dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya obyektif, tersusun dari materi dan bentuk dan berdasarkan aturan alam. Sesuatu yang obyektif maksudnya ialah sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia, seperti: keberadaan meja, kursi, pohon, air, matahari dan sejenisnya. Menurut teori hylemorphisme Aristoteles, meja tersusun dari materi dan bentuk. Materi atau bahannya sanggup terbuat dari kayu, rotan maupun besi. Sedangkan bentuknya bentuk meja. Disebut meja, lantaran bentuknya meja. Meskipun materi atau materinya sama yaitu dari kayu, tetapi lantaran bentuknya berbeda, maka namanya juga berbeda. Menurut Aristoteles, realitas obyektif menyerupai meja dan dingklik dan sejenisnya tidak sanggup terhindar dari aturan alam, pada awalnya masih baru, lama-kelamaan akan lapuk dan rusak. Jika pandangan ini dikaitkan dengan materi latih atau mata pelajaran, maka materi latih atau mata pelajaran memuat hal-hal yang sifatnya obyektif menyerupai tercermin pada mata pelajaran IPA.
Dalam pandangan pragmatisme (Ornstein and Levine, 1985: 199-200), realiats itu dipahami sebagai sesuatu yang dihasilkan dari interaksi antara individu dengan lingkungannya, dan selalu berubah. Makin banyak individu berinteraksi dengan lingkungannya, maka ia akan semakin kaya realitas yang diketahui. Jika dikaitkan dengan materi latih atau materi pelajaran, maka materi latih atau materi pelajaran harus berisi hal-hal yang memungkinkan adanya interaksi antara penerima didik dengan lingkungannya, menyerupai banyak dipraktekkan pada bawah umur Taman Kanak-kanak dan sejenisnya yang memanfaatkan hari-hari tertentu untuk jalan-jalan mengamati sesuatu yang dilaluinya sambil refreshing. Hal ini kalau dilakukan pada wilayah yang lebih luas akan memperkaya realitas yang dimiliki oleh bawah umur atau penerima didik.
Landasan Epistemologis
Landasan epistemologis berkaitan dengan dilema pengetahuan termasuk dilema kebenaran. Pertanyaan fundamental yang biasa diajukan dalam kaitannya dengan dilema pengetahuan adalah: apakah pengetahuan itu? Pertanyaan ini ingin memperoleh jawaban ihwal hakekat pengetahuan. Pertanyaan lainnya, bagaimana kita sanggup memperoleh pengetahuan? Darimana sumbernya. Pandangan epistemologis antara lain akan menjawab bahwa pengetahuan insan diperoleh lewat kerjasama antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Pengetahuan insan mustahil ada tanpa salah satunya, sehingga pengetahuan insan selalu subyektif-obyektif atau obyektif-subyektif. Di sini terjadi kemanunggalan antara subyek dan obyek. Subyek sanggup mengetahui obyeknya, lantaran dalam dirinya mempunyai kemampuan-kemampuan, khususnya kemampuan akali dan inderawinya (Pranarka, 1987: 36-38).
Dalam kenyataan, insan sanggup memperoleh pengetahuan lewat aneka macam sumber atau sarana: external sense experience dan internal sense experience, reason, intuition, revelation, faith, tradition and common-sense. (Thiroux, 1985: 478-483).
Meskipun insan dengan segala kemampuannya telah dan akan berupaya terus untuk mengetahui obyeknya secara total dan utuh, tetapi dalam kenyataan, insan tidak bisa untuk merengkuh obyeknya secara total dan utuh. Apa yang diketahui insan selalu saja ada yang tersisa. Dalam istilah Michael Polanyi (1996), “ada segi tak terungkap dari pengetahuan manusia”. Dengan kata lain, insan hanya bisa mengetahui yang fenomenal saja, dan tidak bisa menjangkau yang noumenal. Hal inilah yang memicu munculnya anggapan bahwa pengetahuan insan itu relatif. Relativitas pengetahuan insan itu disebabkan sekurang-kurangnya lantaran keterbatasan kemampuan insan sebagai subyek yang mengetahui, dan juga lantaran kompleksitas obyek yang diketahui.
Jika pengetahuan insan itu relatif, apakah kebenaran itu ada? Dengan kata lain, apakah pengetahuan insan itu benar adanya? Pertanyaan tersebut sanggup dijawab dengan aneka macam teori kebenaran menyerupai teori-teori: koherensi, korespondensi, pragmatis dan konsensus. Dalam pandangan yang lain, kebenaran itu meliputi: kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis atau kebenaran moral.
Dalam filsafat pendidikan, dilema pengetahuan antara lain terkait dengan dilema kurikulum, mencar ilmu dan metode pembelajaran (teaching-learning process). Karena pengetahuan insan tidak sanggup dilepaskan dengan dilema isi pengetahuan (realitas), maka dalam pandangan Ornstein and Levine (1985: 186), dilema realitas tercermin “in the subjects, experiences and skills of the curriculum”. Bagi penerima didik, sumber pengetahuan bukan hanya dari guru atau dosennya, melainkan juga sanggup dari buku-buku pustaka, internet maupun dari sumber yang lain.
Menurut pandangan idealisme, mengetahui itu berarti memikirkan kembali gagasan-gagasan yang sudah dimiliki dan tersembunyi (latent ideas). Pengetahuan insan itu sifatnya a priori. Dengan introspkesi, seseorang akan mengetahui aneka macam hal, lantaran intinya insan dikala lahir sudah membawa ide-ide. Dalam konteks ini guru atau dosen mempunyai kiprah untuk memunculkan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh penerima didiknya.
Berbeda dengan idealisme, realisme berpandangan bahwa pengetahuan seseorang diperoleh lewat sensasi dan abstarksi. Dengan memanfaatkan panca inderanya seseorang menangkap aneka macam macam obyek riil di luar dirinya, kemudian proses abstraksi dilakukan untuk mengambil kesan-kesan umum sehingga tersimpan dalam kesadaran seseorang. Dalam konteks ini, kiprah guru atau dosen ialah mengajak penerima didiknya mengamati dan memanfaatkan panca inderanya dipakai untuk memperoleh pengetahuan, lantaran lewat sensasi itu obyek-obyek pengetahuan di ouar sanggup diketahui, kemudian terbentuklaah konsep ihwal sesuatu itu lewat daya abstraksinya.
Menurut pragamatisme, untuk sanggup mempunyai pengetahuan ihwal sesuatu obyek, seseorang harus melaksanakan interaksi dengan lingkungan di mana obyek-obyek pengetahuan itu berada. Dengan interaksi itu seseorang sanggup hidup, tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, pengetahuan seseorang itu selalu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi jawaban ineteraksi seseorang dengan lingkungannya secara terus menerus. Dengan berinteraksi, pengetahuan seseoarng bertambah dan berkembang. Dengan berinteraksi pula lingkungan juga diubah dan dikembangkan oleh pengetahuan seseorang. Dalam konteks pendidikan, pemebelajaran yang disarankan oleh aliran ini ialah lewat eksperimen, pengalaman eksklusif dan metode problem solving.
Landasan Aksiologis
Landasan aksiologis berkaitan dengan dilema nilai, baik nilai kebaikan (etika), maupun nilai keindahan (estetika). Pertanyaan sentarlnya antara lain: Apakah nilai itu? Apakah nilai itu diktatorial ataukah relatif ? Dalam filsafat pendidikan, dilema nilai merupakan serpihan yang sangat penting, lantaran dalam pendidikan, bukan hanya menyangkut transfer pengetahuan, melainkan juga menyangkut penanaman dan pengembangan nilai-nilai, baik nilai-nilai kebaikan, maupun keindahan. Meskipun dalam filsafat nilai pada umumnya ada dua (2) kategori besar nilai, yakni nilai kebaikan dan nilai keindahan. Akan tetapi kalau dikaji dari aneka macam pandangan, antara lain dari pandangan Notonagoro, selain dua nilai tersebut juga ada nilai kebenaran, dan nilai keagamaan (Iqbal Hasan, 2002: 188). Nilai kebaikan (etis) berkaitan dengan karsa atau kehendak manusia. Artinya, perbuatan atau tindakan seseorang terkena evaluasi etis, kalau perbuatan atau tindakan itu itu dilakukan dengan sengaja, atau memang dikehendaki. Persoalannya ialah bagaimana kita sanggup mengetahui perbuatan atau tindakan seseorang yang mana yang disengaja dan yang tidak disengaja? Dalam hal ini, budi insan sangat berperan untuk mengetahui mana yang disengaja dan mana pula yang tidak. Logika seseorang sanggup membantu mengetahui hal ini.
Nilai keindahan berkaitan dengan rasa manusia. Dengan rasa itu seseorang sanggup memperlihatkan apresiasi estetis terhadap karya seni, apakah karya seni itu mempunyai nilai keindahan atau tidak. Nilai kebenaran berkaitan dengan budi manusia, sehingga sanggup menghasilkan budi budi yang logis dan rasional serta sanggup memperoleh kenyataan/kebenaran. Sedangkan nilai keagamaan berkaitan dan bersumber dari kepercayaan/keyakinan seseorang dengan disertai penghayatan melalui budi dan hati nuraninya. Nilai keagamaan atau religius ini merupakan nilai ketuhanan. Dalam konteks pendidikan, nilai-nilai tersebut diupayakan semoga sanggup diketahui, dihayati dan menjadi miliki penerima didik, sehinggga sikap dan perilakunya mencerminkan nilai-nilai telah dmilikinya itu. Ini menjadi sebagian kiprah seorang pendidik.
Menurut pandangan idealisme, nilai itu sifatnya diktatorial dan abadi. Pandangan ini menyerupai dengan pandangan realisme. Menurut realisme, nilai memang diktatorial dan abadi, akan tetapi tetap berdasarkan aturan alam. Sedangkan berdasarkan pragmatisme, nilai sifatnya situasional dan relatif. Dalam konteks pendidikan, kita selalu dihadapkan pada dua pandangan besar yaitu pandangan yang menganggap nilai itu sifatnya mutlak dan awet dan pandangan yang menganggap nilai itu sifatnya situasional dan relatif. Oleh lantaran itu, seorang pendidik harus pandai-pandai mengakomodasi dua pandangan besar itu, nilai-nilai mana yang sifatnya diktatorial dan abadi, dan nilai-nilai mana yang sifatnya situasional dan relatif.
Landasan-landasan filosofis pendidikan kalau dibicarakan secara lebih elaboratif dan terperinci serta sanggup dipahami oleh para pendidik dibutuhkan sanggup membantu para pendidik mengoptimalisasikan kiprah kependidikannya, sehingga dalam melaksanakan tugasnya tersebut didasarkan pada pijakan atau landasan filosofis yang jelas. Apakah berpijak pada pandangan idealisme, realisme, pragamatisme atau pandangan yang lain atau justru mencoba menggabungkan aneka macam pandangan yang ada. Yang lebih penting lagi, para pendidik sanggup berbagi seluruh potensi positif penerima didiknya kea rah yang lebih baik, lebih tepat dan lebih berbudaya.
Pandangan filsafat idealism dikembangkan oleh esensialisme. Pandangan filsafat realism dikembangkan oleh perenialisme dan esensialisme. Sedangkan filsafat pragmatism dikembankan oleh progresivisme dan rekonstruksionisme social. Esensialisme dan perenislisme mewakili pandangan yang konservatif ihwal pendidikan, sedangkan progresivisme dan rekonstruksionisme mewakili pandangan yang progresif.
Sebagian Isi Makalah Prof. Achmad Dardiri. *Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Dasar (SENADA) 2015, yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FKIP Universitas Flores, Ende, Sabtu, 17 Oktober 2015
Sumber http://www.tipsbelajarmatematika.com
Landasan Metafisis
Landasan metafisis/ontologis membahas dilema realitas. Apakah realitas itu? Apakah realitas itu wujudnya mental spiritual atau berwujud materi. Landasan epistemologis membahas dilema pengetahuan termasuk bagaimana cara menpendapatkan pengetahuan itu? Sedangkan landasan aksiologis membahas ihwal nilai, apakah nilai itu, apakah nilai itu absolute atau relative?
Dalam goresan pena ini hanya menampilkan tiga aliran filsafat yaitu idealisme, realisme dan pragmatisme sebagai sampel untuk memperjelas keterangan mengenai landasan-landasan filosofus tersebut. Meskipun sangat disadari bahwa perkembangan pemikiran sampaumur ini begitu sangat bermacam-macam menyerupai munculnya pandangan atau aliran: poststrukturalist, postmodernist, postpatriarchal dan psot-Marxist (Paulston, 1995: 137)
Menurut pandangan idealisme (Akinpelu, 1988: 132), apa yang dinamakan realitas ialah sesuatu yang bersifat mental-spiritual dan tidak mengalami perubahan. Dalam konteks pendidikan, penerima didik sebagai realitas dipahami sebagai sosok spiritual yang merupakan serpihan dari alam semesta yang spiritual pula.. Juga dikaitkan dengan materi pelajaran atau materi ajar, maka materi pelajaran atau materi latih itu menyangkut hal-hal yang sifatnya mental-spiritual menyerupai yang terdapat pada materi atau materi latih pendidikan kewarganegaraan, pendidikan Pancasila dan pendidikan agama.
Dalam pandangan realisme (Ornstein and Levine, 1985: 191-192), realitas itu dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya obyektif, tersusun dari materi dan bentuk dan berdasarkan aturan alam. Sesuatu yang obyektif maksudnya ialah sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia, seperti: keberadaan meja, kursi, pohon, air, matahari dan sejenisnya. Menurut teori hylemorphisme Aristoteles, meja tersusun dari materi dan bentuk. Materi atau bahannya sanggup terbuat dari kayu, rotan maupun besi. Sedangkan bentuknya bentuk meja. Disebut meja, lantaran bentuknya meja. Meskipun materi atau materinya sama yaitu dari kayu, tetapi lantaran bentuknya berbeda, maka namanya juga berbeda. Menurut Aristoteles, realitas obyektif menyerupai meja dan dingklik dan sejenisnya tidak sanggup terhindar dari aturan alam, pada awalnya masih baru, lama-kelamaan akan lapuk dan rusak. Jika pandangan ini dikaitkan dengan materi latih atau mata pelajaran, maka materi latih atau mata pelajaran memuat hal-hal yang sifatnya obyektif menyerupai tercermin pada mata pelajaran IPA.
Dalam pandangan pragmatisme (Ornstein and Levine, 1985: 199-200), realiats itu dipahami sebagai sesuatu yang dihasilkan dari interaksi antara individu dengan lingkungannya, dan selalu berubah. Makin banyak individu berinteraksi dengan lingkungannya, maka ia akan semakin kaya realitas yang diketahui. Jika dikaitkan dengan materi latih atau materi pelajaran, maka materi latih atau materi pelajaran harus berisi hal-hal yang memungkinkan adanya interaksi antara penerima didik dengan lingkungannya, menyerupai banyak dipraktekkan pada bawah umur Taman Kanak-kanak dan sejenisnya yang memanfaatkan hari-hari tertentu untuk jalan-jalan mengamati sesuatu yang dilaluinya sambil refreshing. Hal ini kalau dilakukan pada wilayah yang lebih luas akan memperkaya realitas yang dimiliki oleh bawah umur atau penerima didik.
Landasan Epistemologis
Landasan epistemologis berkaitan dengan dilema pengetahuan termasuk dilema kebenaran. Pertanyaan fundamental yang biasa diajukan dalam kaitannya dengan dilema pengetahuan adalah: apakah pengetahuan itu? Pertanyaan ini ingin memperoleh jawaban ihwal hakekat pengetahuan. Pertanyaan lainnya, bagaimana kita sanggup memperoleh pengetahuan? Darimana sumbernya. Pandangan epistemologis antara lain akan menjawab bahwa pengetahuan insan diperoleh lewat kerjasama antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Pengetahuan insan mustahil ada tanpa salah satunya, sehingga pengetahuan insan selalu subyektif-obyektif atau obyektif-subyektif. Di sini terjadi kemanunggalan antara subyek dan obyek. Subyek sanggup mengetahui obyeknya, lantaran dalam dirinya mempunyai kemampuan-kemampuan, khususnya kemampuan akali dan inderawinya (Pranarka, 1987: 36-38).
Dalam kenyataan, insan sanggup memperoleh pengetahuan lewat aneka macam sumber atau sarana: external sense experience dan internal sense experience, reason, intuition, revelation, faith, tradition and common-sense. (Thiroux, 1985: 478-483).
Meskipun insan dengan segala kemampuannya telah dan akan berupaya terus untuk mengetahui obyeknya secara total dan utuh, tetapi dalam kenyataan, insan tidak bisa untuk merengkuh obyeknya secara total dan utuh. Apa yang diketahui insan selalu saja ada yang tersisa. Dalam istilah Michael Polanyi (1996), “ada segi tak terungkap dari pengetahuan manusia”. Dengan kata lain, insan hanya bisa mengetahui yang fenomenal saja, dan tidak bisa menjangkau yang noumenal. Hal inilah yang memicu munculnya anggapan bahwa pengetahuan insan itu relatif. Relativitas pengetahuan insan itu disebabkan sekurang-kurangnya lantaran keterbatasan kemampuan insan sebagai subyek yang mengetahui, dan juga lantaran kompleksitas obyek yang diketahui.
Jika pengetahuan insan itu relatif, apakah kebenaran itu ada? Dengan kata lain, apakah pengetahuan insan itu benar adanya? Pertanyaan tersebut sanggup dijawab dengan aneka macam teori kebenaran menyerupai teori-teori: koherensi, korespondensi, pragmatis dan konsensus. Dalam pandangan yang lain, kebenaran itu meliputi: kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis atau kebenaran moral.
Dalam filsafat pendidikan, dilema pengetahuan antara lain terkait dengan dilema kurikulum, mencar ilmu dan metode pembelajaran (teaching-learning process). Karena pengetahuan insan tidak sanggup dilepaskan dengan dilema isi pengetahuan (realitas), maka dalam pandangan Ornstein and Levine (1985: 186), dilema realitas tercermin “in the subjects, experiences and skills of the curriculum”. Bagi penerima didik, sumber pengetahuan bukan hanya dari guru atau dosennya, melainkan juga sanggup dari buku-buku pustaka, internet maupun dari sumber yang lain.
Menurut pandangan idealisme, mengetahui itu berarti memikirkan kembali gagasan-gagasan yang sudah dimiliki dan tersembunyi (latent ideas). Pengetahuan insan itu sifatnya a priori. Dengan introspkesi, seseorang akan mengetahui aneka macam hal, lantaran intinya insan dikala lahir sudah membawa ide-ide. Dalam konteks ini guru atau dosen mempunyai kiprah untuk memunculkan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh penerima didiknya.
Berbeda dengan idealisme, realisme berpandangan bahwa pengetahuan seseorang diperoleh lewat sensasi dan abstarksi. Dengan memanfaatkan panca inderanya seseorang menangkap aneka macam macam obyek riil di luar dirinya, kemudian proses abstraksi dilakukan untuk mengambil kesan-kesan umum sehingga tersimpan dalam kesadaran seseorang. Dalam konteks ini, kiprah guru atau dosen ialah mengajak penerima didiknya mengamati dan memanfaatkan panca inderanya dipakai untuk memperoleh pengetahuan, lantaran lewat sensasi itu obyek-obyek pengetahuan di ouar sanggup diketahui, kemudian terbentuklaah konsep ihwal sesuatu itu lewat daya abstraksinya.
Menurut pragamatisme, untuk sanggup mempunyai pengetahuan ihwal sesuatu obyek, seseorang harus melaksanakan interaksi dengan lingkungan di mana obyek-obyek pengetahuan itu berada. Dengan interaksi itu seseorang sanggup hidup, tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, pengetahuan seseorang itu selalu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi jawaban ineteraksi seseorang dengan lingkungannya secara terus menerus. Dengan berinteraksi, pengetahuan seseoarng bertambah dan berkembang. Dengan berinteraksi pula lingkungan juga diubah dan dikembangkan oleh pengetahuan seseorang. Dalam konteks pendidikan, pemebelajaran yang disarankan oleh aliran ini ialah lewat eksperimen, pengalaman eksklusif dan metode problem solving.
Landasan Aksiologis
Landasan aksiologis berkaitan dengan dilema nilai, baik nilai kebaikan (etika), maupun nilai keindahan (estetika). Pertanyaan sentarlnya antara lain: Apakah nilai itu? Apakah nilai itu diktatorial ataukah relatif ? Dalam filsafat pendidikan, dilema nilai merupakan serpihan yang sangat penting, lantaran dalam pendidikan, bukan hanya menyangkut transfer pengetahuan, melainkan juga menyangkut penanaman dan pengembangan nilai-nilai, baik nilai-nilai kebaikan, maupun keindahan. Meskipun dalam filsafat nilai pada umumnya ada dua (2) kategori besar nilai, yakni nilai kebaikan dan nilai keindahan. Akan tetapi kalau dikaji dari aneka macam pandangan, antara lain dari pandangan Notonagoro, selain dua nilai tersebut juga ada nilai kebenaran, dan nilai keagamaan (Iqbal Hasan, 2002: 188). Nilai kebaikan (etis) berkaitan dengan karsa atau kehendak manusia. Artinya, perbuatan atau tindakan seseorang terkena evaluasi etis, kalau perbuatan atau tindakan itu itu dilakukan dengan sengaja, atau memang dikehendaki. Persoalannya ialah bagaimana kita sanggup mengetahui perbuatan atau tindakan seseorang yang mana yang disengaja dan yang tidak disengaja? Dalam hal ini, budi insan sangat berperan untuk mengetahui mana yang disengaja dan mana pula yang tidak. Logika seseorang sanggup membantu mengetahui hal ini.
Nilai keindahan berkaitan dengan rasa manusia. Dengan rasa itu seseorang sanggup memperlihatkan apresiasi estetis terhadap karya seni, apakah karya seni itu mempunyai nilai keindahan atau tidak. Nilai kebenaran berkaitan dengan budi manusia, sehingga sanggup menghasilkan budi budi yang logis dan rasional serta sanggup memperoleh kenyataan/kebenaran. Sedangkan nilai keagamaan berkaitan dan bersumber dari kepercayaan/keyakinan seseorang dengan disertai penghayatan melalui budi dan hati nuraninya. Nilai keagamaan atau religius ini merupakan nilai ketuhanan. Dalam konteks pendidikan, nilai-nilai tersebut diupayakan semoga sanggup diketahui, dihayati dan menjadi miliki penerima didik, sehinggga sikap dan perilakunya mencerminkan nilai-nilai telah dmilikinya itu. Ini menjadi sebagian kiprah seorang pendidik.
Menurut pandangan idealisme, nilai itu sifatnya diktatorial dan abadi. Pandangan ini menyerupai dengan pandangan realisme. Menurut realisme, nilai memang diktatorial dan abadi, akan tetapi tetap berdasarkan aturan alam. Sedangkan berdasarkan pragmatisme, nilai sifatnya situasional dan relatif. Dalam konteks pendidikan, kita selalu dihadapkan pada dua pandangan besar yaitu pandangan yang menganggap nilai itu sifatnya mutlak dan awet dan pandangan yang menganggap nilai itu sifatnya situasional dan relatif. Oleh lantaran itu, seorang pendidik harus pandai-pandai mengakomodasi dua pandangan besar itu, nilai-nilai mana yang sifatnya diktatorial dan abadi, dan nilai-nilai mana yang sifatnya situasional dan relatif.
Landasan-landasan filosofis pendidikan kalau dibicarakan secara lebih elaboratif dan terperinci serta sanggup dipahami oleh para pendidik dibutuhkan sanggup membantu para pendidik mengoptimalisasikan kiprah kependidikannya, sehingga dalam melaksanakan tugasnya tersebut didasarkan pada pijakan atau landasan filosofis yang jelas. Apakah berpijak pada pandangan idealisme, realisme, pragamatisme atau pandangan yang lain atau justru mencoba menggabungkan aneka macam pandangan yang ada. Yang lebih penting lagi, para pendidik sanggup berbagi seluruh potensi positif penerima didiknya kea rah yang lebih baik, lebih tepat dan lebih berbudaya.
Pandangan filsafat idealism dikembangkan oleh esensialisme. Pandangan filsafat realism dikembangkan oleh perenialisme dan esensialisme. Sedangkan filsafat pragmatism dikembankan oleh progresivisme dan rekonstruksionisme social. Esensialisme dan perenislisme mewakili pandangan yang konservatif ihwal pendidikan, sedangkan progresivisme dan rekonstruksionisme mewakili pandangan yang progresif.
Sebagian Isi Makalah Prof. Achmad Dardiri. *Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Dasar (SENADA) 2015, yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FKIP Universitas Flores, Ende, Sabtu, 17 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment