Beberapa Penyakit Yang Mematikan Profesi Guru - Herman JP. Maryanto. 2009. dalam bukunya Penyakit Mematikan Profesi Guru. Refleksi Proses Pemelajaran Seperti dikutip N. Kotten, bahwa ada lima penyakit yang mematikan profesi guru. Lima penyakit kini ini terus menggorogoti mentalitas huruf para pendidik (guru/dosen), sehingga proses pemelajaran dari waktu ke waktu semakin rapuh, tak bermakna, dan unjung-ujungnya kualitas pendidikan kita terpuruk. Lima penyakit guru yang yakni sebagai berikut:
1. Pertama penyakit “Kurap” dan Kudis” (Kurang Persiapan dan Kurang Disiplin)
Gejala penyakit ini nampak ketika guru memasuki ruang kelasnya tanpa membawa buku, lembar kerja siswa (worksheet), alat peraga atau media berguru dan bahkan tidak selembar kertas pun ada di tangannya. Gejala umumnya terjadi pada para guru senior yang merasa sudah berpengalaman dan puluhan tahun mengajar. Semua materi didik sudah ready stock di dalam kepalanya, tinggal di re-call kapan saja ia mau.
Guru ini tidak melihat pentingnya persiapan. Ia bisa mengajar di luar kepalanya, dan dijamin tidak kehabisan bahan. Penyakit kurang persiapan (Kurap) sangat membahayakan anak didik, alasannya mereka hanya akan mendapat stock pengetahuan yang terbatas dan cendrung sudah kadaluarsa, tidak update serta tidak aplikatif.
Sedangkan penyakit Kurang Disiplin (Kudis) ditandai oleh guru yang tiba ke sekolah senin-kamis. Masuk ke ruang kelas lebih banyak terlambatnya dibanding sempurna waktunya. Penyakit kudis sangat merugikan anak didik. Membuat mereka loyo, tidak termotivasi belajar. Guru kudis-an bukan sosok yang menarik dijadikan model bagi para murid, terlebih dalam hal kedisiplinan.
Guru kurap-an dan kudis-an keduanya berbahaya bagi murid, mereka akan mempunyai persepsi negatif wacana profesi guru. Mereka menilai bahwa pekerjaan guru tidak lebih dari pada pekerjaan murahan, tidak profesional. Alih-alih mereka kelak tertarik menjadi guru, lebih baik bekerja yang lain yang ber-skill. Kalau sudah demikian, tinggal tunggu waktu saja ambruknya profesi guru dan pendidikan kita.
Berikut, yakni obatnya. Penyakit Kurap sanggup disembuhkan dengan makan buah “Salak” (Siapkan dan Laksanakan). Semua guru hendaknya mempunyai janji untuk selalu menciptakan persiapan sebelum mengajar. Jangan pernah merasa nyaman memasuki ruang kelas tanpa mempunyai persiapan. Persiapan pun mesti konsisten dilaksanakan sesuai skenario yang telah direncanakan. Persiapan sekurang-kuranganya mempunyai komponen; pembukaan, pelaksanaan inti proses pemelajaran dan penutup. Ingat pepatah bijak; “If you fail to plan, you plan to fail”. Jika anda gagal merencanakan, maka sama artinya Anda merencanakan kegagalan. Sehebat apapun Anda sebagai guru dan sebebarapa banyak ilmu pengetahuan yang Anda miliki dalam otak, itu tidak pernah akan cukup, perlu terus ditambah dan diperbarui setiap saat. Hanya guru yang menyiapkan dan melaksanakan proses pemelajaran dengan cermat, sungguh-sungguh, lengkap, jelas, dan rinci, akan bisa memelajarkan muridnya.
Untuk mengobati sakit Kudis, Anda bisa makan buah “Jambu: (Jangan Membuang-buang waktu). Guru yang mempunyai sikap disiplin akan menghargai waktu dan tiba sempurna waktu, tidak akan mengurangi waktu yang menjadi haknya para murid. Menyia-nyiakan waktu milik murid hanya untuk kepentingan diri sendiri yakni salah satu bentuk tindakan koruksi. Jangan anggap remeh waktu yang hanya beberapa menit. Walaupun semenit, bisa jadi waktu itu sangat berarti bagi para murid. Kelolah waktu dengan bijak jikalau Anda tidak mau dipanggil pak Tuter alias tukang terlambat.
2. Penyakit kedua yakni “Sembelit” (Sedikit Membaca Literatur)
Seorang guru, idealnya tidak pernah lepas dari apa yang namanya literatur. Literatur dalam arti luas yakni sumber-sumber berguru atau informasi, termasuk internet, buku-buku pelajaran, buku referensi, jurnal, laparan ilmiah hingga majalah dan koran. Literatur dalam bentuk media cetak maupun media elektronik hendaknya menjadi makanan sehari-hari bagi para guru. Dalam kala informasi ibarat kini ini, banyak literatur bisa diakses dari mana saja, bahkan bisa diakses pribadi dari sumber aslinya hanya cukup dengan meng-klik screen internet Anda.
“Sembelit” yakni salah satu penyakit mematikan profesi guru. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dalam sebuah acara pemelajaran jikalau seorang guru hanya memegang satu buku suci yang disebut buku paket itu? Dipastikan guru tersebut akan dibilang muridnya tidak gaul, ketinggalan jaman atau kuno. Tanpa terus membaca, memperbaharui wawasan dan pengetahuan, maka proses pemelajaran dijamin tidak akan aktual. Guru cendrung gagap dalam setiap topik yang hangat dan menjadi materi percakapan para murid atau masyarakat.
Guru “Sembelit” cendrung romantis membanggakan masa kemudian dan menyalahkan masa kini. Sementara muridnya yang dilahirkan sebagai generasi digital, kapan saja dan dimana saja bersahabat dengan dunia informasi. Guru berpenyakit “Sembelit” akan diacuhkan oleh murid-murid alias di-cuek-in alasannya setiap omongannya tidak connect.
Kondisi cukup memprihatinkan, bahkan 80% guru di Indonesia yakni guru-guru yang tidak pernah mengalokasikan anggaran untuk membeli buku-buku, majalah atau koran demi menunjang profesi mereka (Darmaningtyas, 2004). Dengan kata lain 80% guru-guru di Indonesia tidak mempunyai kebiasaan membaca atau mengakses informasi. Anda bisa bayangkan sendiri, apa yang didapat oleh murid yang berguru dengan guru demikian. Belum lagi kebanyakan murid-murid kita juga belum mempunyai habitus membaca yang baik.
Bagi para guru yang sakit “Sembelit” ada sejenis buah yang bisa membantu mengobati penyakit Anda yakni buah “Kesemak” (Kembangkan diri Sekurang-kurangnya Membaca Koran). Kalau guru gajinya sedikit, tidak bisa membeli literatur, maka sekurang-kurangnya berusaha rajin untuk membaca koran. Koran mungkin sanggup dijadikan salah satu jalan keluar. Media rakyat yang sanggup berfungsi sebagai jendela untuk mengintip apa yang terjadi di luar sana. Dengan membaca tajuk rencana, berita, artikel, opini, dan lain-lain yang disajikan di koran, akan membantu meng-update semoga tidak ketinggalan informasi. Guru yang rajin membaca koran sekurang-kurangnya akan mengetahui situasi, memahami dunia sekitar, dan tidak gagap jikalau harus berbicara topik-topik tertentu yang ada kaitannya dengan insiden atau hal-hal yang sedang aktual.
3. Penyakit yang ketiga yakni “Batuk-Asma” (Belajar atau Tidak Urusan kemudian – Asal Materi Abis).
Penyakit ini banyak mengidapi terutama para guru nyasar. Yaitu orang-orang yang menjadi guru alasannya terpaksa. Bekerja sebagai guru hanya sebagai pengisi waktu, kerikil loncatan untuk mendapat pekerjaan lain yang lebih baik. Mereka tidak mempunyai bekal ilmu kependidikan, psikologi pekembangan anak, serta ilmu didaktik-metodik yang memadai. Guru pengidap “batuk-Asma” tidak mempunyai panggilan sebagai pengajar maupun pendidik. Mereka bukan guru tetapi seorang pekerja murni. Tugas utamanya melaksanakan perintah atasan, berikut mendapat upah. Karena tujuan utama bekerja yakni upah, maka cendrung apatis kepada para murid. Yang penting melaksanakan kiprah sesuai juklak (petunjuk-pelaksanaan) dan juknis (petunjuk-teknis), asal materi didik habis diakhir tahun pelajaran. Perkara siswa mengerti atau tidak itu urusan mereka.
Murid-murid yang mendapat guru dengan jenis penyakit ini, akan merespon dengan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bagi murid yang memang ogah-ogahan akan menyenangi guru berpenyakit “batuk-Asma” alasannya apapun yang mereka buat, guru tidak peduli. Belajar atau tidak, guru tidak memperhatikan. Sebaliknya bagi murid-murid yang serius dan sungguh-sungguh ingin belajar, mereka akan tersiksa dan putus asa. Apapun yang mereka buat semoga bisa memahami mata pelajarannya, tidak pernah mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Bukan murid yang men-cuekin gurunya tetapi guru yang men-cuekin muridnya.
Guru sakit “Batuk-Asma”, sanggup diobati dengan makan buah “Mangga” (Mengajar Anak Nggak/Jangan Asal-asalan). Meniru kalimat iklan; “kalau mengajar jangan asal-asalan, kalau asal-asalan jangan mengajar”. Mengajar asal-asalan niscaya akan merugikan banyak pihak yakni murid, orang tua, sekolah dan bahkan masa depan bangsa. Maka sebaiknya kalau asal-asalan lebih baik jangan mengajar, jangan menjadi guru.
Siapa pun murid Anda, percayalah bahwa mereka mempunyai kelebihan disamping kekurangannya. Mereka unik dan istimewa. Guru dituntut mem-perhatikan masing-masing secara pribadi. Pada dasarnya tidak ada murid yang bahagia di-cuekin. Para murid akan lebih menaruh perhatian kepada kata-kata, perilaku, perhatian dari gurunya dari pada materi-materi didik yang disajikan. Ketika murid merasa diperhatikan dan didengarkan maka materi pelajaran dengan sendirinya akan gampang dipahaminya. Pekerjaan guru tidak sekedar menghabiskan materi pelajaran, tetapi juga menginspirasikan murid untuk berbagi diri sesuai potensinya.
4. Penyakit keempat adalah, “Sariawan” (Siapkan Anak-anak dengan Ringkasan, Aman Waktu Ujian)
Penyakit ini selalu mewabah dan mengidapi para guru pada saat-saat menjelang dilaksanakannya Ujian Nasional (UN). Hampir semua guru yang mengajar di kelas-kelas terakhir teridap penyakit ini. Mereka getol menciptakan ringkasan materi pelajaran. Ratusan bahkan ribuan kumpulan soal-soal disiapkan kemudian di DRILL-kan kepada para murid demi UN. Guru pengidap penyakit “Sariawan” cendrung mengajak anak “belajar untuk lupa”, instant dan tidak bermakna. Skor ujian menjadi tujuan utama. Setelah ujian usai para siswa tidak tahu lagi apa yang mereka telah pelajari. Alih-alih memanfaatkan ilmu yang telah mereka pelajari untuk memecahkan problem hidup yang mereka hadapi, mengingat saja mereka tidak mampu. Belajar bertahun-tahun, hanya diakhiri dengan kegiatan-kegiatan mekanistik tak bermakna. Guru-guru “sariawan”, sekilas nampak pintar, hebat, mempunyai jurus-jurus jitu menjawab lusinan soal, namun sebenarnya, mereka tidak menyampaikan apa-apa kepada para muridnya, kecuali pembodohan.
Untuk meredahkan sakit “Sariawan” sanggup makan buah APEL (Arahkan dengan Proses yang benar, dan Latilah). Dengan buah “Apel: guru dibutuhkan bisa dengan sabar membimbing, mengarahkan melalui proses pemelajaran yang sistematis sesuai dengan perkembangan murid. Mengarahkan tidak berarti hanya menasihati atau menyuruh, melainkan lebih bangun di pihak murid, mengetahui pikiran dan kemauannya, berikut menunjukkan alternatif-alternatif kemudian memberi kesempatan si murid yang akan memilih pilihannya sendiri. Lakukan pemelajaran yang mementingkan pada proses yang runtut sistematis, strategis, tidak sekedar berorientasi kepada hasil tamat yang berupa angka-angka. Melatih belum dewasa secara terstruktur, tidak sekedar mendapat tanggapan benar, melainkan juga menguasai konsep dan mempunyai banyak alternatif untuk menuntaskan permasalahan yakni kewajiban guru. Hindarkan sistem DRILL (Dadakan, meRepotkan, Irasional, dan me-Lelahkan).
5. Penyakit yang mematikan yang kelima yakni “Menceret dan Mules” (Mengajar, Nerocos Terus dan Mutu Lulusan Lesu).
Tidak sedikit guru yang mengalami “menceret” kronis. Agar dilihat pandai dan berwibawa di mata murid-muridnya, guru lebih bahagia mengalirkan kata-kata bertuah, penuh nasihat. Ceramah, nerocos terus ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang guru yang bijaksana. Isi ceramah kadang sarat dengan nasihat-nasihat seperti: bagaimana menjadi anak yang baik, meraih hidup sukses di masa depan dan lain-lain. Kadang materi pelajaran pokok yang mesti diajarkan terlupakan, alasannya saking pandainya merajut kata-kata menyampaikan nasihat. Ketika semua muridnya membisu tertunduk, guru “menceret” merasa gembira dan puas bahwa pelajarannya didengarkan, dan dihayati. James Baldwin menyampaikan bahwa belum dewasa tidak pernah bisa mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan orang dewasa, tetapi mereka tidak pernah akan gagal untuk menirunya. Guru yang cendrung mengajar dengan ceramah atau nerocos terus dijamin tidak akan didengarkan oleh para muridnya. Mereka membisu dan menunduk-kan kepala bukannya mendengarkan melainkan tidur nyenyak. Kalau pada setiap pelajaran para murid tertidur, sanggup diprediksikan maka hasil tamat dari proses pemelajaran yakni nol besar, tidak bermutu alias “Lesu”. Masa depan suram, tidak bergairah, tidak mempunyai semangat juang dan daya saing. Mau meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi otak tidak bisa alasannya ketika sekolah lebih banyak tidurnya dari pada meleknya. Mau bekerja mencari duit, tidak mempunyai keterampilan.
Untuk menyembuhkan sakit “Menceret-Mules” perlu menelan “Aspirin” (Ajarilah Siswa dengan Penuh Inisiatif-Reflektif dan Inspiratif). Mengajar yang hanya ceramah terus dipastikan tidak bermutu. Inisiatif yakni upaya guru untuk melaksanakan sesuatu dalam proses pemelajaran sehingga menggairahkan murid untuk belajar. Upaya sanggup berupa cara-cara penggunaan taktik mengajar yang variatif, memerhatikan model berguru murid, gaya berguru murid dan yang lebih penting murid menjadi bahagia belajar. Reflektif, yakni kemauan guru untuk terus-menerus melihat kembali apa yang telah dilakukan dan diupayakan, apakah proses pemelajaran sudah efektif, menarik bagi murid, menyenangkan dan tujuan tercapai?. Inspiratif yakni upaya menyampaikan stimulasi bagi murid semoga termotivasi dan mengakibatkan kemauan untuk memelajari lebih lanjut sesuatu yang baru.
Saran saya, untuk Anda yang belum terserang penyakit-penyakit di atas, tetaplah terus waspada, lakukan tindakan preventif dengan obat-obat alami ibarat disebutkan di atas sehingga proses pemelajaran Anda akan bermakna bagi masa depan generasi penerus bangsa ini.
Sumber http://www.tipsbelajarmatematika.com
Gejala penyakit ini nampak ketika guru memasuki ruang kelasnya tanpa membawa buku, lembar kerja siswa (worksheet), alat peraga atau media berguru dan bahkan tidak selembar kertas pun ada di tangannya. Gejala umumnya terjadi pada para guru senior yang merasa sudah berpengalaman dan puluhan tahun mengajar. Semua materi didik sudah ready stock di dalam kepalanya, tinggal di re-call kapan saja ia mau.
Guru ini tidak melihat pentingnya persiapan. Ia bisa mengajar di luar kepalanya, dan dijamin tidak kehabisan bahan. Penyakit kurang persiapan (Kurap) sangat membahayakan anak didik, alasannya mereka hanya akan mendapat stock pengetahuan yang terbatas dan cendrung sudah kadaluarsa, tidak update serta tidak aplikatif.
Sedangkan penyakit Kurang Disiplin (Kudis) ditandai oleh guru yang tiba ke sekolah senin-kamis. Masuk ke ruang kelas lebih banyak terlambatnya dibanding sempurna waktunya. Penyakit kudis sangat merugikan anak didik. Membuat mereka loyo, tidak termotivasi belajar. Guru kudis-an bukan sosok yang menarik dijadikan model bagi para murid, terlebih dalam hal kedisiplinan.
Guru kurap-an dan kudis-an keduanya berbahaya bagi murid, mereka akan mempunyai persepsi negatif wacana profesi guru. Mereka menilai bahwa pekerjaan guru tidak lebih dari pada pekerjaan murahan, tidak profesional. Alih-alih mereka kelak tertarik menjadi guru, lebih baik bekerja yang lain yang ber-skill. Kalau sudah demikian, tinggal tunggu waktu saja ambruknya profesi guru dan pendidikan kita.
Berikut, yakni obatnya. Penyakit Kurap sanggup disembuhkan dengan makan buah “Salak” (Siapkan dan Laksanakan). Semua guru hendaknya mempunyai janji untuk selalu menciptakan persiapan sebelum mengajar. Jangan pernah merasa nyaman memasuki ruang kelas tanpa mempunyai persiapan. Persiapan pun mesti konsisten dilaksanakan sesuai skenario yang telah direncanakan. Persiapan sekurang-kuranganya mempunyai komponen; pembukaan, pelaksanaan inti proses pemelajaran dan penutup. Ingat pepatah bijak; “If you fail to plan, you plan to fail”. Jika anda gagal merencanakan, maka sama artinya Anda merencanakan kegagalan. Sehebat apapun Anda sebagai guru dan sebebarapa banyak ilmu pengetahuan yang Anda miliki dalam otak, itu tidak pernah akan cukup, perlu terus ditambah dan diperbarui setiap saat. Hanya guru yang menyiapkan dan melaksanakan proses pemelajaran dengan cermat, sungguh-sungguh, lengkap, jelas, dan rinci, akan bisa memelajarkan muridnya.
Untuk mengobati sakit Kudis, Anda bisa makan buah “Jambu: (Jangan Membuang-buang waktu). Guru yang mempunyai sikap disiplin akan menghargai waktu dan tiba sempurna waktu, tidak akan mengurangi waktu yang menjadi haknya para murid. Menyia-nyiakan waktu milik murid hanya untuk kepentingan diri sendiri yakni salah satu bentuk tindakan koruksi. Jangan anggap remeh waktu yang hanya beberapa menit. Walaupun semenit, bisa jadi waktu itu sangat berarti bagi para murid. Kelolah waktu dengan bijak jikalau Anda tidak mau dipanggil pak Tuter alias tukang terlambat.
2. Penyakit kedua yakni “Sembelit” (Sedikit Membaca Literatur)
Seorang guru, idealnya tidak pernah lepas dari apa yang namanya literatur. Literatur dalam arti luas yakni sumber-sumber berguru atau informasi, termasuk internet, buku-buku pelajaran, buku referensi, jurnal, laparan ilmiah hingga majalah dan koran. Literatur dalam bentuk media cetak maupun media elektronik hendaknya menjadi makanan sehari-hari bagi para guru. Dalam kala informasi ibarat kini ini, banyak literatur bisa diakses dari mana saja, bahkan bisa diakses pribadi dari sumber aslinya hanya cukup dengan meng-klik screen internet Anda.
“Sembelit” yakni salah satu penyakit mematikan profesi guru. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dalam sebuah acara pemelajaran jikalau seorang guru hanya memegang satu buku suci yang disebut buku paket itu? Dipastikan guru tersebut akan dibilang muridnya tidak gaul, ketinggalan jaman atau kuno. Tanpa terus membaca, memperbaharui wawasan dan pengetahuan, maka proses pemelajaran dijamin tidak akan aktual. Guru cendrung gagap dalam setiap topik yang hangat dan menjadi materi percakapan para murid atau masyarakat.
Guru “Sembelit” cendrung romantis membanggakan masa kemudian dan menyalahkan masa kini. Sementara muridnya yang dilahirkan sebagai generasi digital, kapan saja dan dimana saja bersahabat dengan dunia informasi. Guru berpenyakit “Sembelit” akan diacuhkan oleh murid-murid alias di-cuek-in alasannya setiap omongannya tidak connect.
Kondisi cukup memprihatinkan, bahkan 80% guru di Indonesia yakni guru-guru yang tidak pernah mengalokasikan anggaran untuk membeli buku-buku, majalah atau koran demi menunjang profesi mereka (Darmaningtyas, 2004). Dengan kata lain 80% guru-guru di Indonesia tidak mempunyai kebiasaan membaca atau mengakses informasi. Anda bisa bayangkan sendiri, apa yang didapat oleh murid yang berguru dengan guru demikian. Belum lagi kebanyakan murid-murid kita juga belum mempunyai habitus membaca yang baik.
Bagi para guru yang sakit “Sembelit” ada sejenis buah yang bisa membantu mengobati penyakit Anda yakni buah “Kesemak” (Kembangkan diri Sekurang-kurangnya Membaca Koran). Kalau guru gajinya sedikit, tidak bisa membeli literatur, maka sekurang-kurangnya berusaha rajin untuk membaca koran. Koran mungkin sanggup dijadikan salah satu jalan keluar. Media rakyat yang sanggup berfungsi sebagai jendela untuk mengintip apa yang terjadi di luar sana. Dengan membaca tajuk rencana, berita, artikel, opini, dan lain-lain yang disajikan di koran, akan membantu meng-update semoga tidak ketinggalan informasi. Guru yang rajin membaca koran sekurang-kurangnya akan mengetahui situasi, memahami dunia sekitar, dan tidak gagap jikalau harus berbicara topik-topik tertentu yang ada kaitannya dengan insiden atau hal-hal yang sedang aktual.
3. Penyakit yang ketiga yakni “Batuk-Asma” (Belajar atau Tidak Urusan kemudian – Asal Materi Abis).
Penyakit ini banyak mengidapi terutama para guru nyasar. Yaitu orang-orang yang menjadi guru alasannya terpaksa. Bekerja sebagai guru hanya sebagai pengisi waktu, kerikil loncatan untuk mendapat pekerjaan lain yang lebih baik. Mereka tidak mempunyai bekal ilmu kependidikan, psikologi pekembangan anak, serta ilmu didaktik-metodik yang memadai. Guru pengidap “batuk-Asma” tidak mempunyai panggilan sebagai pengajar maupun pendidik. Mereka bukan guru tetapi seorang pekerja murni. Tugas utamanya melaksanakan perintah atasan, berikut mendapat upah. Karena tujuan utama bekerja yakni upah, maka cendrung apatis kepada para murid. Yang penting melaksanakan kiprah sesuai juklak (petunjuk-pelaksanaan) dan juknis (petunjuk-teknis), asal materi didik habis diakhir tahun pelajaran. Perkara siswa mengerti atau tidak itu urusan mereka.
Murid-murid yang mendapat guru dengan jenis penyakit ini, akan merespon dengan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bagi murid yang memang ogah-ogahan akan menyenangi guru berpenyakit “batuk-Asma” alasannya apapun yang mereka buat, guru tidak peduli. Belajar atau tidak, guru tidak memperhatikan. Sebaliknya bagi murid-murid yang serius dan sungguh-sungguh ingin belajar, mereka akan tersiksa dan putus asa. Apapun yang mereka buat semoga bisa memahami mata pelajarannya, tidak pernah mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Bukan murid yang men-cuekin gurunya tetapi guru yang men-cuekin muridnya.
Guru sakit “Batuk-Asma”, sanggup diobati dengan makan buah “Mangga” (Mengajar Anak Nggak/Jangan Asal-asalan). Meniru kalimat iklan; “kalau mengajar jangan asal-asalan, kalau asal-asalan jangan mengajar”. Mengajar asal-asalan niscaya akan merugikan banyak pihak yakni murid, orang tua, sekolah dan bahkan masa depan bangsa. Maka sebaiknya kalau asal-asalan lebih baik jangan mengajar, jangan menjadi guru.
Siapa pun murid Anda, percayalah bahwa mereka mempunyai kelebihan disamping kekurangannya. Mereka unik dan istimewa. Guru dituntut mem-perhatikan masing-masing secara pribadi. Pada dasarnya tidak ada murid yang bahagia di-cuekin. Para murid akan lebih menaruh perhatian kepada kata-kata, perilaku, perhatian dari gurunya dari pada materi-materi didik yang disajikan. Ketika murid merasa diperhatikan dan didengarkan maka materi pelajaran dengan sendirinya akan gampang dipahaminya. Pekerjaan guru tidak sekedar menghabiskan materi pelajaran, tetapi juga menginspirasikan murid untuk berbagi diri sesuai potensinya.
4. Penyakit keempat adalah, “Sariawan” (Siapkan Anak-anak dengan Ringkasan, Aman Waktu Ujian)
Penyakit ini selalu mewabah dan mengidapi para guru pada saat-saat menjelang dilaksanakannya Ujian Nasional (UN). Hampir semua guru yang mengajar di kelas-kelas terakhir teridap penyakit ini. Mereka getol menciptakan ringkasan materi pelajaran. Ratusan bahkan ribuan kumpulan soal-soal disiapkan kemudian di DRILL-kan kepada para murid demi UN. Guru pengidap penyakit “Sariawan” cendrung mengajak anak “belajar untuk lupa”, instant dan tidak bermakna. Skor ujian menjadi tujuan utama. Setelah ujian usai para siswa tidak tahu lagi apa yang mereka telah pelajari. Alih-alih memanfaatkan ilmu yang telah mereka pelajari untuk memecahkan problem hidup yang mereka hadapi, mengingat saja mereka tidak mampu. Belajar bertahun-tahun, hanya diakhiri dengan kegiatan-kegiatan mekanistik tak bermakna. Guru-guru “sariawan”, sekilas nampak pintar, hebat, mempunyai jurus-jurus jitu menjawab lusinan soal, namun sebenarnya, mereka tidak menyampaikan apa-apa kepada para muridnya, kecuali pembodohan.
Untuk meredahkan sakit “Sariawan” sanggup makan buah APEL (Arahkan dengan Proses yang benar, dan Latilah). Dengan buah “Apel: guru dibutuhkan bisa dengan sabar membimbing, mengarahkan melalui proses pemelajaran yang sistematis sesuai dengan perkembangan murid. Mengarahkan tidak berarti hanya menasihati atau menyuruh, melainkan lebih bangun di pihak murid, mengetahui pikiran dan kemauannya, berikut menunjukkan alternatif-alternatif kemudian memberi kesempatan si murid yang akan memilih pilihannya sendiri. Lakukan pemelajaran yang mementingkan pada proses yang runtut sistematis, strategis, tidak sekedar berorientasi kepada hasil tamat yang berupa angka-angka. Melatih belum dewasa secara terstruktur, tidak sekedar mendapat tanggapan benar, melainkan juga menguasai konsep dan mempunyai banyak alternatif untuk menuntaskan permasalahan yakni kewajiban guru. Hindarkan sistem DRILL (Dadakan, meRepotkan, Irasional, dan me-Lelahkan).
5. Penyakit yang mematikan yang kelima yakni “Menceret dan Mules” (Mengajar, Nerocos Terus dan Mutu Lulusan Lesu).
Tidak sedikit guru yang mengalami “menceret” kronis. Agar dilihat pandai dan berwibawa di mata murid-muridnya, guru lebih bahagia mengalirkan kata-kata bertuah, penuh nasihat. Ceramah, nerocos terus ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang guru yang bijaksana. Isi ceramah kadang sarat dengan nasihat-nasihat seperti: bagaimana menjadi anak yang baik, meraih hidup sukses di masa depan dan lain-lain. Kadang materi pelajaran pokok yang mesti diajarkan terlupakan, alasannya saking pandainya merajut kata-kata menyampaikan nasihat. Ketika semua muridnya membisu tertunduk, guru “menceret” merasa gembira dan puas bahwa pelajarannya didengarkan, dan dihayati. James Baldwin menyampaikan bahwa belum dewasa tidak pernah bisa mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan orang dewasa, tetapi mereka tidak pernah akan gagal untuk menirunya. Guru yang cendrung mengajar dengan ceramah atau nerocos terus dijamin tidak akan didengarkan oleh para muridnya. Mereka membisu dan menunduk-kan kepala bukannya mendengarkan melainkan tidur nyenyak. Kalau pada setiap pelajaran para murid tertidur, sanggup diprediksikan maka hasil tamat dari proses pemelajaran yakni nol besar, tidak bermutu alias “Lesu”. Masa depan suram, tidak bergairah, tidak mempunyai semangat juang dan daya saing. Mau meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi otak tidak bisa alasannya ketika sekolah lebih banyak tidurnya dari pada meleknya. Mau bekerja mencari duit, tidak mempunyai keterampilan.
Untuk menyembuhkan sakit “Menceret-Mules” perlu menelan “Aspirin” (Ajarilah Siswa dengan Penuh Inisiatif-Reflektif dan Inspiratif). Mengajar yang hanya ceramah terus dipastikan tidak bermutu. Inisiatif yakni upaya guru untuk melaksanakan sesuatu dalam proses pemelajaran sehingga menggairahkan murid untuk belajar. Upaya sanggup berupa cara-cara penggunaan taktik mengajar yang variatif, memerhatikan model berguru murid, gaya berguru murid dan yang lebih penting murid menjadi bahagia belajar. Reflektif, yakni kemauan guru untuk terus-menerus melihat kembali apa yang telah dilakukan dan diupayakan, apakah proses pemelajaran sudah efektif, menarik bagi murid, menyenangkan dan tujuan tercapai?. Inspiratif yakni upaya menyampaikan stimulasi bagi murid semoga termotivasi dan mengakibatkan kemauan untuk memelajari lebih lanjut sesuatu yang baru.
Saran saya, untuk Anda yang belum terserang penyakit-penyakit di atas, tetaplah terus waspada, lakukan tindakan preventif dengan obat-obat alami ibarat disebutkan di atas sehingga proses pemelajaran Anda akan bermakna bagi masa depan generasi penerus bangsa ini.
No comments:
Post a Comment