Pentingnya Permainan Dalam Pembentukan Konsep Matematika - Permainan tradisional anak sudah usang ada pada kelompok masyarakat tertentu yang ditandai dengan penggunaan alat sederhana dan materi gampang diperoleh, dimainkan beramai-ramai, dan tidak melibatkan perangkat teknologi. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, berubah pula pilihan permainan anak dari permainan tradisional beralih ke permainan modern. Anak-anak lebih sering memainkan game yang bersentuhan dengan teknologi modern ibarat game-game yang ada di computer yang juga tekoneksi internet ibarat game online atau game center dan game yang bisa terhubung dengan media televisi melalui video ibarat game playstation. Semakin murahnya gadget berbasis OS android dan mudahnya saluran bagi bawah umur untuk menggunakan gadget turut memperlihatkan bantuan pada kurangnya minat bawah umur terhadap permainan tradisional. Kurangnya minat bawah umur untuk menentukan permainan tradisional patut disayangkan, mengingat banyak manfaat yang sanggup diperoleh dalam kegiatan bermain dengan jenis permainan tradisional yang pada umunya dimainkan bersama oleh anak-anak. Selain membentuk aksara anak, permainan tradisional sanggup dipakai guru untuk pengembangan konsep matematika tertentu yang dipelajari anak di sekolah.
Sejak zaman Plato, telah disadari pentingnya permainan bagi anak-anak. Menurut Plato (Tedjasaputra, 2001:h.1), bawah umur akan gampang mempelajari aritmetika contohnya dengan cara membagikan apel kepada anak-anak, memperlihatkan miniatur balok pada usia 3 tahun dan pada risikonya anak akan menjadi andal bangunan. Ini berarti, kegiatan bermain merupakan jembatan anak dari berguru secara informal menjadi formal. Pendekatan PMR memperlihatkan ruang bagi penggunaan permainan dalam pembelajaran matematika. Permainan merupakan konteks yang baik untuk pengembangan konsep matematika, mengingat siswa usia SD familiar dengan permainan sebab karakteristik mereka yang suka bermain. Treffers (1987) ibarat yang dikutip oleh Wijaya (2012: h.21-23) merumuskan lima karakteristik dalam PMR yaitu: penggunaan konteks, penggunaan model untuk proses matematisasi progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas dan keterkaitan. Tentu saja pemilihan permainan sebagai konteks untuk tujuan pembelajaran matematika haruslah permainan yang mempunyai fenomena matematis tertentu.
Penggunaan permainan tradisional untuk pembelajaran sesuai dengan salah satu karakteristik pendekatan PMR yaitu phenomenological exploration. Eksplorasi bermacam-macam bentuk permainan anak yang mengandung fenomena matematis dalam pembelajaran akan sangat bermanfaat untuk membantu siswa memahami kegunaan matematika dalam kehidupannya. Selain kegunaan pribadi yaitu pemanfaatan matematika dalam aplikasi di aneka macam bidang, penggunaan permainan anak juga membentuk aksara anak. Griffiths (Haylock & Tangata, 2007: p.139) menyatakan bahwa penggunaan kegiatan bermain dalam pembelajaran matematika sanggup membantu anak untuk memandang matematika sebagai pelajaran yang menyenangkan, bersifat sosial dan banyak mempunyai kegunaan dalam kehidupan.
Matematika juga berkembang dan ditemukan oleh para inventor matematika sesuai realitas dan konteks budaya dimana matematika tersebut ditemukan. Pernyataan ini berarti bahwa pembelajaran matematika seharusnya dilaksanakan secara kontekstual dan pembelajaran matematika seharusnya sanggup melatih siswa untuk menjadi invertor matematika di masa depan. Caranya ialah para siswa diajak untuk berguru matematika dengan bermatematika atau melaksanakan matematika (doing mathematics). Oleh sebab itu memasukkan unsur budaya sanggup menjadi pembelajaran matematika kontekstual yang dibutuhkan bisa menjadi pembelajaran yang bermakna yang terkait dengan komunitas budaya dimana akseptor didik berasal. Pendekatan itu akan menciptakan pelajar merasa mempunyai matematika dan menciptakan siswa merasa matematika sebagai penggalan dirinya.
Sumber http://www.tipsbelajarmatematika.com
Sejak zaman Plato, telah disadari pentingnya permainan bagi anak-anak. Menurut Plato (Tedjasaputra, 2001:h.1), bawah umur akan gampang mempelajari aritmetika contohnya dengan cara membagikan apel kepada anak-anak, memperlihatkan miniatur balok pada usia 3 tahun dan pada risikonya anak akan menjadi andal bangunan. Ini berarti, kegiatan bermain merupakan jembatan anak dari berguru secara informal menjadi formal. Pendekatan PMR memperlihatkan ruang bagi penggunaan permainan dalam pembelajaran matematika. Permainan merupakan konteks yang baik untuk pengembangan konsep matematika, mengingat siswa usia SD familiar dengan permainan sebab karakteristik mereka yang suka bermain. Treffers (1987) ibarat yang dikutip oleh Wijaya (2012: h.21-23) merumuskan lima karakteristik dalam PMR yaitu: penggunaan konteks, penggunaan model untuk proses matematisasi progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas dan keterkaitan. Tentu saja pemilihan permainan sebagai konteks untuk tujuan pembelajaran matematika haruslah permainan yang mempunyai fenomena matematis tertentu.
Penggunaan permainan tradisional untuk pembelajaran sesuai dengan salah satu karakteristik pendekatan PMR yaitu phenomenological exploration. Eksplorasi bermacam-macam bentuk permainan anak yang mengandung fenomena matematis dalam pembelajaran akan sangat bermanfaat untuk membantu siswa memahami kegunaan matematika dalam kehidupannya. Selain kegunaan pribadi yaitu pemanfaatan matematika dalam aplikasi di aneka macam bidang, penggunaan permainan anak juga membentuk aksara anak. Griffiths (Haylock & Tangata, 2007: p.139) menyatakan bahwa penggunaan kegiatan bermain dalam pembelajaran matematika sanggup membantu anak untuk memandang matematika sebagai pelajaran yang menyenangkan, bersifat sosial dan banyak mempunyai kegunaan dalam kehidupan.
Matematika juga berkembang dan ditemukan oleh para inventor matematika sesuai realitas dan konteks budaya dimana matematika tersebut ditemukan. Pernyataan ini berarti bahwa pembelajaran matematika seharusnya dilaksanakan secara kontekstual dan pembelajaran matematika seharusnya sanggup melatih siswa untuk menjadi invertor matematika di masa depan. Caranya ialah para siswa diajak untuk berguru matematika dengan bermatematika atau melaksanakan matematika (doing mathematics). Oleh sebab itu memasukkan unsur budaya sanggup menjadi pembelajaran matematika kontekstual yang dibutuhkan bisa menjadi pembelajaran yang bermakna yang terkait dengan komunitas budaya dimana akseptor didik berasal. Pendekatan itu akan menciptakan pelajar merasa mempunyai matematika dan menciptakan siswa merasa matematika sebagai penggalan dirinya.
No comments:
Post a Comment